Senin, 09 Mei 2016

Cerpen Campus



Ruang 202
Ade Zahwa Nurhany


            Sama seperti biasanya, menikmati kampusku yang bisa dikatakan tercinta. Matahari tidak menyengat seperti biasanya, mungkin karena akan segera turun hujan. Ku langkahkan kakiku menuju tangga untuk masuk ke ruang 202 dilantai 2. Entah ini baik atau buruk, kami mendapatkan ruangan dilantai 2, tapi malah kehilangan lorong biologi yang kami cintai dilantai 3.
            Saat kakiku sudah tepat berada didepan ruang 202, ku beranikan diri untuk membuka pintu. Ini permasalahan yang selalu dihadapi mahasiswa takut terlambat, tapi entah mengapa selalu terlambat. Bisa dilihat dari smartphone ku menunjukan angka 08.05 WIB, ini adalah hal tergila yang selalu kulakukan saat pergi ke kampus UMP. Yaitu pergi dari rumah pukul 07.55 WIB, padahal sudah tahu jarak dari rumah ke kampus begitu jauh.
            Perlahan ku buka pintu dengan hati-hati, takut-takut dosen sudah hadir. Semua perasaan itu lenyap saat melihat senyum polos mereka yang tak berdosa atau mungkin malah sebaliknya. Tapi satu hal yang selalu ku syukuri,

            “Mereka adalah orang-orang hebat.” Kalimat itu yang selalu muncul diotakku saat melihat mereka.

            “Ade!!! Hari ini jadikan rapat buat progja?” Pertanyaan Syarifah saat melihat wajah ku.
            “Ya, Jadi jangan lupa diperpus habis matkul ini.” Ucap ku sambil berjalan kedepan mengambil tempat dudukku. Namun otakku langsung bekerja.
            “Jahari!!!! Hari ini rapat di Perpus. Jangan lupa!!!” Teriakku saat otakku mengingat dirinya.
            “Iya, De.” Ucap Jahari lembut.

            Ya, kami memang masuk dalam Himpunan Biologi tepatnya Bidang Keagamaan. Kalau kata Ida yang merupakan ketua kelas kami itu ‘Membangun Himpunan kembali’. Kami tidak ingin menghujat himpunan yang lama, karena kami takut ini juga berakhir seperti mereka.

            “Ade” Panggil seseorang dari belakang, saat aku menoleh ternyata dia. Dia yang paling ditakuti dikelas sang Bendahara, tentu saja ditakuti saat menagih uang kas. Namanya Frilianty Putri.
            “Iya Puput ngapa?” tanyaku padanya.
            “Bayar uang kasmu.” Ucapnya manis namun menyebalkan bagi ku, tapi apapun dia. Bagiku Putri tetap bagian yang terpenting didalam kelas dan tidak dapat diganti oleh siapapun.

***

            Saat suasana kelas mulai sepi karena datangnya hujan, mataku tertuju pada setiap tetes hujan yang jatuh ke tanah. Waktu berjalan begitu cepat, sudah 2th kami semua bersama. Ada banyak hal terjadi.
            Orang yang pertama kulihat adalah Ida Kurniawati ketua kelas yang paling dicinta, walau ada beberapa orang berbicara buruk tentangnya. Bagiku Ida yang terbaik dan bisa dijadikan panutan untuk segala kerja kerasnya bagi kami Biologi A angkatan 2013. Ida merupaka teman baik Putri dan Siti Nurmutmainah pastinya, mereka mengingatkanku saat zaman SMA tentang julukan yang kuberikan kepada temanku ‘Group Smart’ yang isinya Beti sang heboh namun pitar, Rizqy yang begitu taat dan Iskandar yang egois. Tapi tentu saja untuk Ida cs berbeda dari Iskandar cs.

Pandangan ku beralih ke Om tercinta ku Asif Alexander, dia membuatku  lebih dekat dengan beberapa temannya. Asif membuatku melihat yang belum pernah kulihat. Pengorbanan seorang Asif dan sikap santai yang kelewat batas terkadang membuatku geram, tapi apapun dia, dia adalah Asif Alexander yang baik dan terkadang biasa sangat diandalkan. Teman Om ku, Sang ‘Duo Playboy’ julukan yang selalu kuberi untuk ‘Duo Ahmad’ kalau kata teman sekelas kami. Masih ingat diotakku teori cinta sang pujangga Ahmad Jahari dan sikap membingungkan dari Ahmad Yusuf. Lalu teman Asif yang paling pasrah Amboni, terkadang hanya bingung kenapa dia selalu bersikap pasrah. Tapi dibalik itu banyak cerita tentang Amboni yang selalu membuatku penasaran. Lalu sang Srikandi dari kelompok mereka Yesi Fitriani dan Mutia Uliyanti, mereka berdua adalah orang yang menarik dan baik. Walau banyak gunjingan tentang mereka, namun tidak menyulutkanku untuk berteman dengan mereka.
Hal yang menarik tentang kami adalah ‘Cinta’ banyak cinta yang hadir dikelas kami. Seperti kisah cinta Sang Protectif dan Pembangkang, kisah cinta lintas prodi, kisah cinta lintas Universitas, kisah cinta Penuh pengorbanan, serta kisah cinta diam-diam. Tapi apapun cinta yang mereka miliki, rasa cinta itu bukanlah sebuah kesalahan bukan? Karena, setiap orang memiliki pilihannya sendiri tentang cintanya.
Ku langkahkan kakiku menuju kursi kosong didekat Om ku. Kami hanya diam membisu. Tapi itu mengingatkanku tentang IP, nilai yang selalu ingin kami capai untuk hasil semester. Otakku langsung mengingat, saat Amboni bercerita tentang nilainya dan kejujurannya.
Terkadang aku hanya berfikir, dosen selalu memperingatkan kami untuk jujur dalam mengerjakan ujian. Tapi bahkan kejujuran kami didalam mengerjakan ujian tidak pernah dihargai. Mereka hanya ingin melihat hasil, kami disini tidak memiliki otak seperti Ida, Siti dan Putri yang biasa menampung semuanya. Otak kami sangat terbatas, sulit dijelaskan bagaimana otak kami bekerja. Ingat saat Asif mengatakan,
“Nilai IP tidak menjamin masa depan dan tidak mencerminkan siapa kami sebenarnya.”
Atau pertanyaan Amboni
“Gimanalah De? Ambon udah berusaha jujur. Tapi mereka malah enak-enakkan nyontek. Pasti tetap ngak biasa nyaingi mereka.”

Miris memang, saat kejujuranseharusnya dijunjung tinggi. Ini malah kebohongan yang sangat dihargai. Terkadang aku hanya berfikir.
“Kita ini guru, lalu bagaimana biasa kita mengajarkan ke anak didik kita tentang moral? Sedangkan moral kita tentang kejujuran telah hilang karena keadaan yang mengharuskan.”
“Kita ingin bangsa ini lebih baik, tapi tanpa sadar kita sendiri yang merusaknya dengan cara yang sangat halus.” Ujarku pada Amboni saat kami membahas tentang nilai IP.

Hal yang selalu ku takutkan adalah saat bangsa ini benar-benar lebih menghargai kebohongan dari pada sebuah kejujuran.

Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku tidak pernah menyontek. Aku pernah menyontek, karena itu sangat dihargai oleh mereka. Ingatan ku kembali saat Pretest Verteb kemarin, saat salah satu asdos melihat jawabanku.

“Kok, jawabannya hanya segini?”
“Ngak tau kak, kalau hari ini Pretest, soalnya kemarinkan udah? Lagian tadi ngak sempet belajar. Karena, tadi baru aja selesai praktikum Panero. Lagian hanya ini yang ade tahu dapi pada nyontekkan?” tanyaku.
“Cari aja jawabannya, ini namanya tidak menghargai.” Ucapnya sambil mengembalikan kertasku.

See??? Bahkan aku sangat tahu, para asdos melihat mereka menyontek dan secara tidak langsung dia menyuruhku menyontek asal hasil pretest bagus. Untuk Pretest memang tidak semuanya jujur tapi hanya sebagian saja hasil mencontek, karena jika aku tidak tahu maka akan mengarang bebas.

Tetapi untuk MID dan UAS adalah murni dari hasil kerja kerasku, walau jawabannya terkadang banyak mengarang bebas. Dan aku hanya miris kepada mereka yang menyontek saat MID dan UAS, ingin mengatakan itu salah tapi? Yang benar bagaimana? Bahkan dosen hanya melihat nilai tanpa tahu bagaiman perjuangan. Tapi satu hal yang selalu ku ingat saat Iskandar mengatakan
“Untuk apa nilai tinggi hasil mencontek? Nanti kalau didunia kerja diuji dan kita ngak tahu apa-apa, bukannya malah malu? Setidaknya mending hasil sendiri.” Ucapnya padaku saat kami akan menghadapi UAN di SMA, saking kesalnya karena hampir seluruh kelas membeli kunci jawaban kecuali Aku, Dia dan Beti.

            Serta ada sebuah ayat yang selalu memotivasi selain perkataan Iskandar
            “Bahkan daun saat ingin jatuh dari pohon itu atas persetujuan ALLAH.” Satu hal yang pasti, tanpa persetujuan Allah, jika Allah tidak meridhoi kita akan tetap jatuh dan tidak dapat berdiri tegak.
Tapi setidaknya beberapa pihak juga harus menerapkan sikap jujur dan bukan hanya teori dimulut. Itu menyebalkan dan sebuah ketidak adilan bagi mereka yang jujur. Serta pada akhirnya mereka yang jujur hanya mampu berdoa kepada Allah, mungkin ini sisi positif yang dapat diambil dari kejujuran yang tidak dihargai. Setidaknya setiap pilihan memiliki sisi positif dan negatifnya.

“Hujan dah reda!!! Pulang yuk?” Teriak Asif disampingku yang membuyarkan segala lamunanku, dasar menyebalkan. Tapi lucu juga.
“De jadikan?” ucap jahari lebut.
“Tentu saja.” Jawabku sambil mengambil tas disisi lain tempat duduk yang ku duduki sekarang.

            ‘ Dan nasib kami masih ditentukan 2th lagi. Semangat kawan-kawan untuk menggapai cita-cita kita semua. Serta untuk orang yang disana, aku tidak akan kalah darimu. Kita sama-sama berjuang bukan?’ ucapku dalam hati sambil melangkah pergi dari ruang 202 menuju Perpustakaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar